
Sebagai penarik betor, Mat Jinni, tak pernah memaksakan ongkos pada para penumpang yang menggunakan jasanya. Ia tertib dengan jarak yang akan ditempuh. Setiap kilometer dihargainya lima ribu rupiah. Kalaupun ada yang menawar kurang dari yang ditetapkannya, ia dengan rela mengangkut penumpang yang selalu menawar dengan rendah hati.
Tidak merendahkannya sebagai tukang penarik betor. Hanya mengatakan, wah uang saya cuma sekian, aku konsumennya. “Yuk, silahkan naik!” katanya langsung setelah mendengar pengakuan calon penumpangnya. Karena ia percaya pada kematian itu bulat seperti telur, maka ia hanya mengharap keberkahan dari rezeki yang di dapatnya.
Ia sering, bahkan terlalu sering duduk di mesjid mendengarkan pengajian, ketimbang mencari sewa pada jam padat ataupun jam sepi. Menurutnya karena kematian itu bulat seperti telur, maka ia selalu mencari satu atau dua kalimat yang ditelurkan ustad untuk meneguhnya keyakinannya. Terlebih keyakinan pada kematian itu bulat seperti telur.
Suatu malam menjelang hujan turun, suara guntur beselang-seling kuat-rendahnya. Istrinya mengingatkan anak-anak agar mematikan televisi. Bahkan minta mematikan saja lampu. Takut terjadi kebakaran akibat sambungan arus pendek seperti yang selalu dijadikan alasan kalau terjadi kebakaran di kota yang berpenduduk padat. Anak-anak yang kebetulan menonton sinetron kesayangan mereka tak mematuhi apa kata ibu mereka. Sementara Mat Jinni sudah melayang di buaian kasur dan bantal-guling.
Satu kilauan kilat yang menerangkan jagat memenuhi ruang rumah dan halaman. Berurutan dengan datangnya petir yang kuat dan dahsyat seperti suara gabungan bom Hiroshima dan Nagasaki. Menggetarkan bumi. Bersamaan pula listrik mati, entah sengaja oleh PLN atau sengatan listrik petir.
Istri dan anak-anak Mat Jinni pingsan. Sebagian atap seng rumah Mat Jinni hangus disambar petir. Suara minta tolong sahut menyahut dari tetangga. Hujan makin lebat. Mat Jinni masih belum sadar akan apa yang terjadi.
Sesudah semua petir hujan dan angin reda orang ramai mendatangi rumah Mat Jinni. Warga sekitar mengetahui bila terjadi petir besar biasanya rumah Mat Jinni yang aliran listriknya mati. Senter bersilang-silang sinar menerangi sekeliling. Semua orang penasaran sebab tak ada suara yang terdengar keluar dari rumah Mat Jinni. Saat itu semua laki-laki sudah berada di luar rumah. Tak kebiasaan Mat Jinni tak aktif. Semua orang tahu bagaimana jiwa sosial Mat Jinni.
Akhirnya istri Mat Jinni siuman setelah dilakukan berbagai usaha menyadarkannya. Dua orang anaknya terpaksa di bawa ke rumah sakit terdekat karena keduanya tersambar petir. Wajah mereka hitam. Beberapa kerabat yang masih di rumah menanyakan dimana Mat Jinni. Mereka saling pandang.
Dua orang anak muda melihat ke kamar. Mereka tak melihat apapun dalam kamar. Sebelumnya mereka berpikiran Mat Jinni ada di situ.
“Ia tidur untuk jaga nanti. Begitu ia setiap malamnya. Takut kehilangan waktu tahajjud dan salat subuh. Karena ia berpendirian bahwa kematian itu bulat seperti telur.” Istri Mat Jinni menjelaskan. Baru kali ini ia menyebut dengan lengkap slogan suaminya.