Oleh: Nevatuhella
Aku masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Kakak pertamaku sudah SMP. Kami tinggal di sebuah rumah kontrakan, di gang kecil yang becek di kala musim hujan di pinggiran kota Medan. Rumah kami bertetangga dengan mesjid. Dua rumah dari rumah kami tinggal seorang ustadz yang sangat dihormati oleh warga sekitar. Ustadz Kadir demikian ia dipanggil. Setiap hari kemana-mana Ustadz Kadir berkendaraan sepeda sport model. Selesai salat Subuh, beliau pergi mengurus usahanya sebagai agen koran.
Memang Ustadz Kadir tidak setiap waktu salat di mesjid. Banyak warga lain, termasuk pengurus mesjid yang setiap datang waktu salat selalu melantunkan adzan, melaksanakan salat jamaah di mesjid dalam gang ini. Aku sangat menghormati Ustadz Kadir. Ustadz kuanggap mempunyai karomah, kemuliaan yang kuartikan sebagai orang yang menjadi perpanjangaan kehidupan para nabi, khususnya Nabi Muhammad Saw yang menjadi nabi terakhir dan ajarannya diajarkan sedemikain rupa kepadaku. Ayah sering mengatakan kalau-kalau Ustadz Kadir baik untuk ditiru, tidak banyak cakap, tampil seadanya, dan dalam khotbah-khotbah Jumat-nya tidak bertele tele.
Kemudian di gang sebelah rumahku, ada juga seorang ustadz lain yang bergelar sarjana. Drs. Akhyar Sulaiman namanya. Ustadz ini juga kukagumi penampilannya yang kalem, lembut dan selalu sederhana dalam berpakaian. Terlebih lagi kalau ia berceramah, pasti jauh lebih baik dari Ustadz Kadir sebab ia bertitel sarjana, begitulah yang kubayangkan. Masa itu tak ada ustadz yang berjubah, bergamis, berjenggot dan bersorban seperti saat ini, yang bertitel sarjana pun hanya dua-tiga orang saja.
Kesulitan ekonomi mengharuskan kami sekeluarga pindah ke Tanjungbalai. Kami tinggalkan kota Medan, dan aku berbekal kefanatikan pada dua ustadz tetanggaku. Kakak tertuaku sudah tamat SMP, dan aku tamat SD. Aku senang dengan keadaan baru di tempat tinggal yang baru. Sebagai anak remaja yang baru baligh aku suka mendengar cerita orang tua-tua di sini.
Di tempat baru ini panggilan ustadz untuk para guru agama adalah mualim. Aku mendengar ada nama Mualim Aska, Mualim Jamal. Ya, hanya dua nama itu yang kudengar, sebab terbatasnya pergaulanku, sebab aku tak Sekolah Arab lagi, makanya aku tak mengenal mualim yang lain. Oh ya, ada seorang guru yang sangat terkenal di kota ini dengan panggilan tuan, Tuan Thohir. Beliau mempunyai sebuah sekolah swasta mulai tingkat sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Ada banyak lagi tuan guru lain di kota ini.