
Di Tanjungbalai aku menamatkan SMA dan sempat setahun kuliah di USU. Tahun pertama, selama dua semester aku mengikuti kuliah agama satu dan agama dua di kampus. Dosen agama yang memberikan mata kuliah agama tak dipanggil ustadz, cukup bapak saja, Pak Yacub, orangnya sangat bersahaja, kuanggap juga punya kewara’an yang tinggi, punya karomah. Sayang karena kesulitan biaya aku berhenti kuliah. Aku menikah dengan gadis Tanjungbalai, berkulit hitam manis, lulusan sekolah Pendidikan Guru Agama Islam, milik Tuan Thohir.
Sepuluh tahun menikah baru kami dikarunia seorang anak laki laki, dan sekarang usianya sudah enam belas tahun, sudah SMA. Sama seperti aku dulu anakku punya pengagum, punya idola. Waktu kecil ia pengagum Spider Man. Apapun harus berlabel Spider Man. Usai Spider Man, ia terkagum kagum pula pada Harry Potter. Berbeda denganku yang sejak kecil hidup dilingkungan masyarakat yang mawaddah warrahmah, kekeluargaan, maka tokoh yang kukagumi pun hanya Ustadz Kadir dan Ustadz Akhyar Sulaiman.
Kalau dari pihak wanitanya aku mengagumi kak Ras, tetangga yang suka bernyanyi kalau ada band dalam pesta. Rambutnya tebal, ikal dan sangat kasihnya pada anak-anak. Tiap kali musim jambu air, rambutan, kuini, rukam, kami anak-anak boleh mengambil sesuka hati kami di kebun Kak Ras seolah-olah kebun kami sendiri.
Apakah anakku kagum pada ustadz seperti aku waktu kecil? Kurang sekali, bahkan ia pernah mengatakan ustadz yang suatu kali menjadi imam di mushalla dekat rumah kami “Ustadz payahnya itu, panjang kali ayatnya. Mentang-mentang dia ustadz ya! Pegal kaki awak menunggu rukuk. Uwak di depan awak pun berkali-kali memutar kepalanya, kelelahan lehernya.”
“Ustadz memang banyak hafal ayat-ayat panjang, Nak!” Istriku yang ikut mendengar waktu itu mencoba menetralisir kejengkelan anak kami.
Kehidupan di kota kecil kami yang dulu dikenal sebagai kota kerang yang religius, saat ini penuh dengan berbagai masalah yang menjadi musuh agama. Remaja-remaja yang merokok, prostitusi, hedonis, peniruan terhadap model kehidupan yang tidak agamis, kehidupan meterialis, beredarnya narkoba, menjadi tantangan dalam mendidik putraku. Selalu aku berpikir mencari jalan keluar bagaimana agar anakku yang keberi nama Muhammad Abduh ini bisa lolos dari semua duri-duri lingkungan. Memang di rumah kuakui aku sudah menjadi teladan, pemimpin untuk istri dan anakku. Walau tak selalu salat berjamaah, tapi masing masing kami sudah menyadari akan kewajiban salat sebagai fardhu ain. Begitulah, pada akhirnya yang pertama kulakukan menyempatkan waktu untuk mengikuti pengajian disekitar tempat tinggalku. Kadang-kadang sampai ke kelurahan lain.