Jamuan di Tengah Badai

May 6, 2021 - 15:47
Foto : Ilustrasi/int
1 dari 3 halaman

Oleh: Nevatuhella

Nurhevy berjalan menyusuri jalanan tak beraspal. Jalan menuju pasar yang buka hanya di pagi dan sore hari. Beberapa orang perempuan menyertainya di depan dan di belakang. Menjelang siang kios-kios ditutup, sore buka lagi. Sebagian pedagang hanya menutup dagangannya yang ada di los-los yang jumlahnya beberapa. Termasuk pasar tradisional, namun menyediakan lengkap kebutuhan umum. Pedagang menjual dagangannya, terutama ikan segar dengan harga melebihi pasar lainnya.

 Mendadak debu beterbangan makin tebal. Sebelum berangkat, anak Nurhevy,  Hussin, sudah mengingatkan agar ia tak pergi berbelanja, sebab  mendung sudah sangat memberat. Angin pun  mulai bertiup kencang.

“Nanti malam kita tak ada ikan dan sayur lagi untuk sahur.” Nurhevy beralasan menolak peringatan anaknya.

Bulan puasa masih di minggu kedua saat wabah virus korona sedang menjadi pandemi di seluruh dunia. Orang-orang berjalan kemana-mana dengan memakai masker. Tiga minggu yang lalu, Nurhevy masih berpergian dengan kereta api ke ibukota. Waktu itu semua penumpang yang sudah berkurang 75 persen lebih dari biasanya, menutup muka dengan masker. Tampak bagai zombi-zombi yang dibawa kereta api ajaib. Namun sejak seminggu lalu, kereta api jarak pendek dan jauh sudah dibekukan.

Sekarang ia rasakan akibatnya, belum sampai sepuluh menit Nurhevy berjalan, angin tambah kencang berhembus. Sepertinya badai akan datang. Belum pernah terjadi selama ini di desa kecil pertanian ini. Sama seperti wabah korona yang juga belum pernah terjadi selama hampir 10 abad. Korona diperhitungkan akan memakan korban cukup banyak. Pemerintah sudah membuat peraturan agar warga tak keluar rumah. Bantuan sosial juga sudah diberikan kepada warga terdampak virus korona. Nurhevy tercatat salah seorang penerima. Janda dengan penghasilan tidak tetap, begitu sebut identitasnya di dalam kartu keluarga.

Para pengendera sepeda motor melaju. Pejalan kaki mempercepat langkahnya, sebagian berlari, sambil mengucapkan takbir atau tahmid. “Ya, Allah, ya Allah, Allahuakbar.”

 Nurhevy terpaksa berteduh di bawah pohon jati. Badai benar-benar datang. Berangsur-angsur makin ganas. Nurhevy masih sempat mengingat sekeping lirik lagu Adam Lambert, weather the hurricanes to get to that one thing. Beberapa saat kemudian teringat pula ia cerita Menjelang Badai Pasir karya Jamil Massa, sebelum angin kencang melepaskan pelukan tangannya pada pohon jati yang masih muda. Batangnya masih sepelukan Nurhevy yang kurus kerempeng. Kurang gizi dan terlalu banyak berpikir.

Sebulan yang lalu, ia bertengkar hebat dengan dokter. Ia kena demam dan sedikit batuk, tetapi dokter seolah-olah memaksa statusnya untuk pasien pandemi korona. Untuk kemudian di karantina di rumah sakit.

Saat ini, Hussin tak mungkin menyusulnya dalam badai yang sudah menggila. Cuaca  pekat seperti malam, padahal waktu salat asar baru saja berlalu. Masih ada orang yang terkurung dalam musholla yang baru selesai melaksanakan salat asar. Tek! Tiba-tiba bunyi kontak lampu serentak mematikan listrik. Azan yang digemakan dari musholla sayup-sayup saja terdengar. Badai menyusur atap rumah dan pepohonan. Seng dan ranting beterbangan melayang di hantam angin. Sebagian ada yang berputar-putar di angkasa.  

Di tengah badai yang menggila, Nurhevy terbawa terbang. Seseorang ia rasakan menggendongnya dan melepaskannya di sebuat tempat. Nurhevy merasa orang ataupun yang bukan orang ini, sebangsa jin atau malaikat entahpun, berniat baik ingin menyelamatkannya dari ganasnya badai. Belum tiba saat mati, batinnya. Lupa ia mengucap syukur karena perasaan tak menentu. Ingat pula ia keadaan yang sama ketika masih SMP dulu selalu kebolean belum makan sesiangan. Dalam kantuk dan lapar ia diterbangkan malaikat ke angkasa.