Molena

January 6, 2021 - 15:29
Foto : Ilustrasi/int
1 dari 3 halaman

Oleh: NEVATUHELLA

Molena berangkat tidur. Baru jam sembilan malam. Akhir-akhir ini dibiasakannya tidur cepat, bahkan selesai salat Maghrib ia pernah sudah menggulung diri. Tujuannya agar bisa bangun di jantung malam untuk mengerjakan salat tahajjud.

Sore tadi baru saja ia membaca ulang cerpen Kematian yang Lain karya Borges. Cerpen yang punya daya tarik tersendiri baginya. Dimana seorang lelaki, Damian Pedro diceritakan dua kali mengalami kematian. Kematian pertama terjadi di awal sebuah pertempuran, dan yang kedua, 40 tahun kemudian, ia mati di sebuah ladang peternakan, desa kelahirannya.

Belum berbilang jam Molena tertidur, tiba-tiba Molena merasa berada di sebuah pantai yang samar dikenalinya. Malam larut, bulan mungil mengambang disebelah barat. Molena berjalan tegak lurus arah laut. Angin kaku. Waktu beku. Tidak terasa baginya ia sudah berjalan sangat jauh dari bibir pantai. Model relativitas Einstein sedang dialaminya.

Molena terus berjalan tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan. Selanjutnya menyadari eksistensinya, akan apa yang dilakukannya, kalau-kalau daratan yang dilaluinya sudah merupakan badan laut yang timpas. Ia menoleh kebelakang, pantai sudah tak terlihat. Belukar di bantaran pantai menghitam. Hanya lampu-lampu kecil yang jauh terpandang bagai kelap kelip bintang.

“Celaka. Laut setimpas ini!”

Langsung ia teringat laut timpas adalah salah satu tanda akan datang gelombang tsunami yang membawa air yang tadi hanyut ke samudera. Molena membalik badan, berlari sekuat tenaganya menuju pantai kembali. Ia membayangkan sebentar lagi akan datang air bergelombang besar bergulung-gulung menuju pantai. Lari terus, lari terus, demikian yang dipikirkan Molena untuk menyelamatkan diri.

Molena mencapai daratan datar setelah mendaki barang beberapa meter tinggi  tebing. Ia menemukan jalan raya kabupaten yang tak seberapa lebar. Kemudian masuk ke dalam gang kecil. Berlari terus, hingga menemukan rumah-rumah bertingkat yang dibangun khusus menghadang tsunami. Tapi, ia tak hendak membangunkan penghuni di gulita malam itu. Ia memanjat pohon rambutan yang cukup tinggi melebihi rumah-rumah bertingkat. Ia buka celana panjang yang dikenakannya. Ia ikat badannya di bagian pinggang dengan dua kaki celana panjangnya pada batang pohon.

“Kalaupun maut harus datang malam ini, aku berserah diri. Aku telah berusaha!”