
Akhirnya, beliau membaca surat al-Ikhlas sebanyak tiga ribu kali. Setelah itu, beliau bermimpi Rasulullah saw. dengan sifat yang sangat agung. Menyaksikan hal itu, beliau berkata: “sungguh aku tidak mampu mengungkapkan keindahan dan keagungan Rasulullah saw. yang telah aku saksikan, baik dengan tulisan maupun ucapan” (Magnathis al-Qabul, hlm. 22).
Menurut Habib Zein bin Smith, bermimpi Rasulullah saw. merupakan pemberian dari Allah. Oleh karena itu, ia tidak bisa didapatkan hanya karena ibadah dan ilmu yang banyak. Faktanya banyak orang awam yang sering bermimpi Rasulullah saw. Sebaliknya, banyak juga orang alim dan ahli ibadah yang sama sekali tidak pernah bermimpi Rasulullah saw. Namun demikian, biasanya mimpi Rasulullah saw. ini bisa didapatkan oleh orang yang memiliki hubungan (ta‘alluq), cinta (mahabbah), dan kerinduan (syawq) yang kuat kepada Rasulullah saw. (al-Fawa’id al-Mukhtarah, 2008: 594).
Lebih lanjut Habib Zein menjelaskan bahwa apabila seseorang bermimpi Rasulullah saw., dan beliau memerintahkan atau melarang sesuatu kepadanya, maka perintah atau larangan itu seharusnya dilaksanakan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Pelaksanaan perintah Rasulullah dalam mimpi atau larangannya ini hanya bersifat sunah, bukan wajib. Selain itu, perintah atau larangan itu hanya khusus kepada dirinya (orang yang bermimpi), bukan kepada orang lain. Namun, apabila agar perintah Rasulullah dalam mimpi atau larangannya itu diminta untuk disebarkan kepada orang lain, maka dia harus menyebarkannya kepada orang lain (hlm. 594).