Oleh : Nevatuhella
Fairy, ayahnya bernama Hamdan, seorang marhaenis, menanamkan kepadanya rasa perkawanan yang kuat, rasa sosial yang mendalam, melebihi batas ras, dan bahkan agama. “Paham itu, tak masalah sekiranya anak-anak marhaen kawin beda agama.” Fairy mendengar ayahnya mengatakan demikian ketika ayahnya sudah meninggalkan paham marhaenismenya. Fairy saat itu masih sebelas tahun, kelas lima. Karena sekolahnya akan ditutup, Fairy terpaksa ikut ujian akhir bersama siswa kelas enam.
Sekolah Fairy sebuah sekolah swasta yang dimiliki sebuah organisasi sosial keagamaan. Berada dalam gang kecil becek, terlebih musim hujan. Siswa-siswa selalu berangkat ke sekolah menjinjing sepatu apeknya. Sekolah ini digelari Sekolah Urap Daun Ubi, karena pernah suatu kali saat perpisahan, siswa dan guru-guru membuat urap yang didominasi daun ubi, karena di tanah kosong sebelah utara gedung sekolah yang hanya dua lokal ini ditanami ubi oleh pengelola sekolah.
Akan ditutupnya sekolah yang siswa perempuannya menggunakan tudung lingkup ini tak ada hubungannya dengan penamaan Sekolah Urap Daun Ubi itu. Tapi karena di gang yang berseberangan jalan raya dengan gang sekolah berada didirikan sebuah sekolah dasar baru, mendapat gelar Sekolah Hwa-whe.
Hwa-whe adalah sebutan untuk judi legal yang dikelola negara. Mungkin hasil judi ini berlebih untuk hadiah para pemasang, dan agar masyarakat tak usah mempersoalkan judi itu haram, sebagai sumbangsih didirikan sekolah tersebut. Katakanlah CSR-nya. Masyarakat terkagum-kagum dengan bangunan beton dan catnya yang mengkilat. Apalah Sekolah Urab Daun Ubi, yang selalu bocor atapnya
Sesudah Fairy selesai sekolah dasar bersama kakak keduanya, Bonnita, bersamaan pula kakak sulungnya Hayani tamat sekolah menengah pertama. Hamdan membawa keluarganya pindah ke kampung halaman ibunya. Alasan ayahnya meninggalkan ibukota provinsi ini terdesak hutang di pusat pasar tempat ia berjualan ikan segar.
Waktu itu rumah mereka didatangi rentenir, seorang perempuan dengan gumpalan sirih dimulutnya, sal membelit di lehernya. Hamdan waktu itu tidak dirumah. Rentenir menyumpah serapah keadaan rumah kontrakan keluarga Hamdan yang miskin, banjir setiap saat menggenangi lantai tanah rumah. Air ludah rentenir berlepak sangking banyaknya ia meludah. Cukuplah serapahnya itu membuat sebuah ode.
Fairy menggeletar hampir pingsan dengan kedatangan rentenir ini. Ia sudah membayangkan yang bukan-bukan akan terjadi. Rentenir itu pasti memburu ayahnya, dan menyiksanya sedemikian rupa. Inilah perasaan tertekannya sesudah rentenir meninggalkan rumah.