
Foto : Ilustrasi/int
Oleh: NEVATUHELLA
Molena berangkat tidur. Baru jam sembilan malam. Akhir-akhir ini dibiasakannya tidur cepat, bahkan selesai salat Maghrib ia pernah sudah menggulung diri. Tujuannya agar bisa bangun di jantung malam untuk mengerjakan salat tahajjud.
Sore tadi baru saja ia membaca ulang cerpen Kematian yang Lain karya Borges. Cerpen yang punya daya tarik tersendiri baginya. Dimana seorang lelaki, Damian Pedro diceritakan dua kali mengalami kematian. Kematian pertama terjadi di awal sebuah pertempuran, dan yang kedua, 40 tahun kemudian, ia mati di sebuah ladang peternakan, desa kelahirannya.
Belum berbilang jam Molena tertidur, tiba-tiba Molena merasa berada di sebuah pantai yang samar dikenalinya. Malam larut, bulan mungil mengambang disebelah barat. Molena berjalan tegak lurus arah laut. Angin kaku. Waktu beku. Tidak terasa baginya ia sudah berjalan sangat jauh dari bibir pantai. Model relativitas Einstein sedang dialaminya.
Molena terus berjalan tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan. Selanjutnya menyadari eksistensinya, akan apa yang dilakukannya, kalau-kalau daratan yang dilaluinya sudah merupakan badan laut yang timpas. Ia menoleh kebelakang, pantai sudah tak terlihat. Belukar di bantaran pantai menghitam. Hanya lampu-lampu kecil yang jauh terpandang bagai kelap kelip bintang.
“Celaka. Laut setimpas ini!”
Langsung ia teringat laut timpas adalah salah satu tanda akan datang gelombang tsunami yang membawa air yang tadi hanyut ke samudera. Molena membalik badan, berlari sekuat tenaganya menuju pantai kembali. Ia membayangkan sebentar lagi akan datang air bergelombang besar bergulung-gulung menuju pantai. Lari terus, lari terus, demikian yang dipikirkan Molena untuk menyelamatkan diri.
Molena mencapai daratan datar setelah mendaki barang beberapa meter tinggi tebing. Ia menemukan jalan raya kabupaten yang tak seberapa lebar. Kemudian masuk ke dalam gang kecil. Berlari terus, hingga menemukan rumah-rumah bertingkat yang dibangun khusus menghadang tsunami. Tapi, ia tak hendak membangunkan penghuni di gulita malam itu. Ia memanjat pohon rambutan yang cukup tinggi melebihi rumah-rumah bertingkat. Ia buka celana panjang yang dikenakannya. Ia ikat badannya di bagian pinggang dengan dua kaki celana panjangnya pada batang pohon.
“Kalaupun maut harus datang malam ini, aku berserah diri. Aku telah berusaha!”
Pasrahnya. Ia memejam matanya yang sudah padat kantuk. Gerimis memberat alam, bulan sudah menghilang. Tak sekerjap suara yang bisa ditangkap. Bahkan hanya jangkrik sekalipun tak mengangkat lagu.
Apa yang terjadi berikutnya, “Mimpi!” ucap Molena begitu sadar. Ia mengusap wajahnya dengan kesyukuran tiada bertara merasa baru saja lepas dari maut. Dilihatnya langit-langit triplek putih kamar. Dilihatnya ke samping jendela yang masih utuh dengan kain jendela berbunga-bunga.
“Kamarku. Memang. Tadi aku mimpi. Alhamdulillah, ya Allah. Tadi itu hanya mimpi!”
Malam kejadian mimpi akan diterkam Tsunami, berada pada bulan suami keduanya meninggal dunia setahun yang lalu. Ia ingat pula bulan Desember, bulan yang sama dengan terjadinya gempa bumi dan tsunami di Aceh, Indonesia, yang merupakan banjir terbesar sesudah banjir masa Nuh Alaihissalam yang bisa dilacak para ilmuwan.
Molena sendiri pernah bermimpi, waktu itu ia tinggal di daerah tepi pantai. Sebuah sungai pasang surut berada dibelakang rumahnya. Ia bermimpi terjadi gempa dan tsunamai. Dilihatnya sungai yang ada, tiba-tiba mengalami pasang surut berkali-kali dalam urutan waktu yang sama. Padahal pasang surut normal hanya terjadi dua kali dalam tempo 24 jam.
Dua hari berikutnya setelah mimpi tersebut, gempa dan tsunami memang benar terjadi. Tsunami kecil. Begitu orang tua di kampungnya mengatakan. Molena masih SMP waktu itu.
Gempa kuat pernah pula terjadi dalam mimpinya yang berdurasi cukup panjang. Setelah gempa yang meruntuhkan gedung dan rumah-rumah sederhana pemukiman warga, Syarif tak ditemukannya di dalam rumah dan dihalaman. Molena meraungi nasib Syarif. Akankah anak semata wayangnya itu masih hidup?
Para korban gempa berjalan bak zombie dengan tubub penuh debu dan berdarah-darah. Sulit mengenalinya. Letih menangis dan bertanya pada tiap-tiap rombongan yang lewat, Molena sempat tertidur. Dalam tidur Molena bermimpi tsunami datang menghantam wilayah yang baru dilanda gempa. Beberapa saat ia sadar kembali, memperhatikan lagi rombongan korban gempa yang lewat. Ia akhirnya melihat sosok Syarif terselip diantar orang-orang yang berjalan.
“Allahuakbar...subhanallah. Anakkuuuu!” jerit Molena tanpa seorang yang mempedulikan. Ia memeluk anaknya yang kini sudah berusia 24 tahun. Waktu itu Syarif masih tujuh tahun.
Tak sampai seminggu peristiwa mimpi itu, Molena mendapat talak cerai dari suaminya.
“Mimpi kali ini, gerangan apa yang akan terjadi? “ kata Molena dalam hati.
Desember tahun lalu, ia berada di kota kembang Bandung. Tahun ini rencana keberangkatan sudah dipersiapkan. Ongkos sudah cukup. Molena dan Syarif hanya mengkhawatirkan, kalau-kalau mereka reaktif terhadap tes rapid Covid-19, yang berarti mereka harus diisolasi selama dua minggu. Tak mungkin lagi bisa meninggalkan kota. Hingga bulan Desember ini, sudah sepuluh bulan pandemi Covid-19 belum berakhir melanda seluruh dunia.
Tekadnya di bulan ini, Molena ingin mencukupi jumlah cerpen yang ditulisnya selama tahun 2020 menjadi sepuluh cerpen. Setiap ada kesempatan berdiam diri, terutama saat berbaring, ia menginginkan muncul inspirasi yang bisa dituangkan ke dalam tulisan, menjadi cerpen. Dan hari ini, Molena bangkit, menuju laptopnya, dan bergegas memulai ceritanya. Itulah cerpen yang tengah Anda baca sekarang....
Medan, 2-11 Desember 2020
*Nevatuhella. Lahir di Medan, 1961. Alumnus Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. Buku ceritanya yang telah terbit Perjuangan Menuju Langit (2016) dan Bersampan ke Hulu (2018) serta satu buku puisi Bila Khamsin Berhembus (2019). Tahun ini akan menerbitkan buku biografi penyair Damiri Mahmud Teriakan dalam Senyap.
Comments