Karomah Ustadz (2)

Oleh: Nevatuhella

Musim hujan yang jauh lebih awal datangnya membuat pekerjaanku sebagai tukang pembuat rumah banyak tertunda bahkan ada yang diputuskan tak jadi oleh pemilik rumah. Waktuku bertambah banyak di rumah, yang berarti aku akan lebih banyak bisa beramal. Khawatir juga aku akan dicap malas oleh keluarga sebab tidak mencari pekejaan lain, tapi hatiku telah tekad aku akan mencari karomah dari waktu yang senggang ini. Persediaan belanja harian masih cukup, dan kalaupun kurang masih ada dua bentuk cincin emas yang disimpan istriku untuk dijual.

Selang sebulan, Asmaul Husna aku telah hafal, sebab sejak kecil aku memang penasaran untuk menghafalnya. Juga tentang sifat kerahmanan Allah sudah kumiliki kuncinya, yaitu ada lima perkara dalam memaknainya. Pertama, Allah Ta’ala telah menciptakan alam terlebih dahulu sebelum ia menciptakan manuisa. Kedua, manusia diciptakan dengan sempurna mempunyai akal dan nafsu. Ketiga, Allah menjadikan seorang manusia sebagai nabi atau rasul, serta menurunkan kitab suci untuk menuntun kehidupan manusia agar tidak menderita. Keempat, Allah menjanjikan surga untuk orang-orang yang hidup lurus, berpedoman pada kitab suci dan nabinya. Kelima, Allah menjanjikan pertemuan dengan-Nya, Allah Ta’ala zat yang maha kuat, tak terhingga kesempurnaannya.

Aku juga memperbanyak silaturrahmi, terutama mengunjungi keluarga handai taulan yang kudengar sedang sakit. Sengaja kubawa buah tangan untuk keluarga yang sakit, dan kusediakan pula uang sepuluh atau dua puluh ribu untuk yang sedang sakit. Istriku pun biasanya selalu membekali gula, teh dan kopi sebagai salamnya pada keluarga yang sakit atas ketidakbisaannya berkunjung.

Begitulah halnya, waktu terus bergulir, selama sebulan sudah sepuluh orang sakit yang kukunjungi. Yang terakhir kukunjungi baru saja meninggal seminggu yang lalu, yaitu sepupuku yang menderita kanker usus. Saat-saat ketika ia terbaring sakit, wajahnya cerah kalau aku datang mengunjunginya. Begitu aku datang, langsung ia tersenyum dan memperlihatkan keadaannya seolah segera sembuh.

Aku biasanya memegang kakinya, memijat-mijatnya sambil membaca ayat-ayat yang sudah kupelajari untuk dibacakan dalam hati atau bersir sedikit. Mula-mula aku beristighfar sebanyaknya dengan jumlah ganjil. Kemudian aku bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw dikuti dengan salawat ke semua nabi. Sesudah itu kubaca surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, dan terakhir Ayat Kursi. Biasanya kalau sedang membacakan ayat-ayat tersebut, si sakit merasa nyaman. Terhadap Abduh, dan dua anakku kalaupun sakit kulakukan juga demikian untuk menenangkannya. Kupikir aku sudah memiliki kekaromahan, kelebihan yang telah kuusahakan, dan ditakdirkan Allah. Kupikir semua bisa demikian karena aku makin dekat pada Sang Pencipta, pemilik segala keagungan.

Waktu terus berlalu, pekerjaan sebagai tukang tak pernah bergeser ke posisi lain. Hanya permintaan dari saudara-saudara dan handai taulan yang sakit selalu datang padaku. Beberapa kali aku terpaksa meninggalkan pekerjaanku waktu utusan datang menjemputku. Kembali sehat, atau meninggal dunia pasien yang kukunjungi tidak menjadi persoalan bagiku dan bagi keluarga si sakit. Alhamdulillah, selalu kuucapkan, aku bisa memberi sedikit ketenangan bagi orang-orang sakit yang sedang menderita. Aku hadir menjenguknya tidak hanya ketika orang-orang sudah menjadi mayat atau tak bernyawa lagi, seperti yang selalu dilakukan walikota kota kecil kami ini sebelum ia menjadi walikota. Pantang mendengar ada orang meninggal dunia, beliau langsung hadir disana.

Suatu sore selesai salat Ashar di mushalla yang berada di lingkungan salah seorang keluargaku yang sedang sakit, aku mampir di warung minum dan berkumpul. Ada yang berlobe, ada yang berjanggut lengkap dengan sorban dan gamis, ada yang berseragam olahraga, dan ada yang masih berseragam dinasnya.

“Dari mushalla, Pak Ibnu?“ sapa salah seorang.

“Ah, ya,” jawabku. Aku duduk, dan menyalami orang disebelah kiri dan kananku. “Kopi satu, Bu!” Langsung kupesan segelas kopi.

Cerita di warung selamanya tetap hangat dan menarik. Headline News-nya sekitar sumpah seorang politisi yang baru diturunkan dari jabatan sebagai Ketua Umum partainya, dan disangkakan pula terlibat korupsi.

“Gantung saya di Monas, kalau ada serupiah pun saya menerima suap proyek itu!” Yang berbicara menggeleng-gelengkan kepala meragukan sumpah sang politisi ini. Yang lain mengatakan pula, “Seribuuuu persen saya bersumpah tidak ada menerima sepeserpun uang! Aih, macam tak betul aja cakap dia ni!”

“Gimana bapak-bapak, kalau gubernur kita bersumpah macam itu, apa la yang bakal dikatakannya?”

Semua terdiam menunggu.

“Kita rehat sejenak!” Seorang yang wajahnya mirip Karni Ilyas memperagakan gaya Karni dalam acara Indonesia Lawyers Club yang ada di televisi.

“Kalau gubernur kita cukuplah mengatakan sumpah begini, gantung saya di Titi Gantung kalau saya korupsi!”

“Haa-haaa,...” Yang berbicara terbahak bahak. “Kok pak wali kito Ulong, apo la sumpahnyo yang cocok kalau ia bersumpah misalnya kalau dirinya terjepit kasus jugo?”

Sang Bapak yang ditanya belum habis tawanya. “Udahla golak tu, copat la pertanyaan yang terakhir tu dijawab!” Seru yang lain.

Semua menunggu dan masing-masing menyeruput kopi yang masih tersisa. Aku terdiam menunggu. Kupejam mataku seolah menunggu kedatangan sesuatu yang ganjil. Sempat aku teringat apakah aku dulu mencoblos nama pak walikota yang ustadz ini dulunya saat Pilkada.

Bonamkan aku di sungai Silau atau di sungai Asahan tu kalau aku makan sepeser uang rakyat!”

Nah, inilah sumpah walikota Tanjungbalai yang signifikan dengan sumpah-sumpah di atas yang diucapkan seorang bapak yang giginya tinggal beberapa biji menggantung.

“Haa-haaa...”

Brilliant! Exellent! Very very good!

Semua menyalami pencetus kalimat yang ditunggu beberapa menit. Magma adrenalin orang-orang ini turun menjadi endapan vitamin suplemen emosi mereka untuk bekal tidur nyenyak malam nanti. Dengan cara ini, tiap hari kupikir mereka selalu bergembira menyelamatkan apa yang masih bisa diupayakan sebagai gizi jiwa mereka yang kering kerontang.  

Bacaan Al-Quran dari mushalla pertanda sebentar lagi waktu Maghrib terdengar mengudara. Aku permisi pulang menyalami orang-orang yang kuanggap pintar dan cerdas dalam menangani masalah kehidupan yang makin gamang dihadapi. Dalam hati muncul juga gurauanku, atau juga mungkin keseriusanku menyatakan, “Tak percuma kota ini berwalikotakan seorang ustadz yang doktorandus, ah bukan doktorandus, tapi doktor! Doktor bosar. S Tiga. Berkaromah! Karomah seorang ustadz!”

*Nevatuhella. Lahir di Medan, 1961. Alumnus Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. Buku ceritanya yang telah terbit Perjuangan Menuju Langit (2016) dan Bersampan ke Hulu (2018) serta satu buku puisi Bila Khamsin Berhembus (2019). Tahun ini akan menerbitkan buku biografi penyair Damiri Mahmud Teriakan dalam Senyap.

 

 

 

Latest Articles

Comments